A TAXI DRIVER: Kisah Nyata Sopir Taxi Mengungkap Kekerasan di Gwangju

 


Ber-setting musim semi tahun 1980, film ini mengingatkan saya dengan kejadian Semanggi 1998.

Kisah bermula saat Kim, seorang sopir taksi pribadi di Seoul terjebak di antara pendemo. Dia marah karena spion mobil kesayangannya akibat ditabrak seorang pendemo yang lari dikejar tentara. Biaya untuk memperbaiki spion itu lumayan mahal untuknya, dia bahkan tidak bisa membayar kontrakan selama empat bulan sebesar 100 ribu Won. 

Pemeran Kim di sini adalah pemeran sopir Kim dalam Parasite, saya kurang hapal nama aslinya, namun dia sering ada dalam film Korea sebagai ayah. 

Dia hendak meminjam 100 ribu Won kepada temannya itu untuk membayar kontrakan, padahal temannya itu notabene si pemilik kontrakan. Pada saat ngobrol di rumah makan, terdengar perbincangan orang lain sesama sopir taksi yang mendapat orderan mengangkut orang asing ke Gwangju, dibayar 100 ribu Won.

Tanpa basa-basi, Kim langsung cabut ke bandara menjemput Sang Orang Asing.

Di bandara, orang asing itu langsung ketemu, ditemani seorang Korea yang sudah pesan taksi dari perusahaan taksi tapi yang datang malah taksi pribadi. Kim berkilah, katanya taksi yang lain sedang sibuk. Dan  pun langsung masuk karena hendak buru-buru ke Gwangju.

Dulu Kim pernah bekerja di Arab Saudi, oleh karena itulah dia bisa bahasa Inggris dan bisa berkomunikasi dengan orang asing.

Setelah menempuh perjalanan berjam-jam, ternyata jalan masuk menuju Gwangju diblokir oleh tentara. Kata tentara, Gwangju sedang dilanda huru-hara. Ada gangster membuat kekacauan di sana.

Kim pun memutar balik mobilnya. Penumpangnya bertanya kenapa putar balik, Kim pun menjelaskan keadaaan di Gwangju yang berbahaya sesuai kata tentara tadi. Tapi  tetap keukeuh. Mereka pun mencari jalan alternatif melewati gunung dan masuk hutan, yang ternyata tetap ditutup oleh tentara. Kim bertanya apa urusan orang itu ke Gwangju. Jawabnya, “None of your business!”

Dengan kemampuan bahasa Inggris alakardanya, Kim menangkap ucapan penumpangnya itu sebagai “urusan bisnis”. Dia menyangka kalau penumpangnya itu seorang pengusaha yang punya urusan bisnis di Gwangju. Kim menyampaikan ke tentara bahwa pengusaha ini akan mengambil dokumen yang tertinggal di Gwangju, kalau tidak ada dokumen itu makan Korea tidak akan bisa ekspor ke Amerika. 

Baca juga: GARNIER SUPER UV MATTE SPOTPROOF SUNSCREEN SPF 50+ PA+++ 

Akhirnya tentara mengijinkan mereka lewat. 

Dari Wikipedia, pada saat presiden Park Chung-hee terbunuh pada tahun 1979, Jenderal Chun Doo-hwan dan Roh Tae-woo mengambil alih kekuasaan mengakibatkan kekecewaan rakyat Korea Selatan yang menginginkan transisi yang demokratis. Pada tanggal 18 Mei 1980, penduduk kota Gwangju (Provinsi Jeolla Selatan) turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi. Tentara bersenjata melakukan aksi brutal bahkan melepas beberapa kali tembakan untuk meredam pendemonstrasi yang awalnya melakukan aksi damai. Walau pendemonstrasi yang tak bersenjata ditekan secara brutal, mereka tetap melakukan upaya protes. Warga Gwangju berusaha mendirikan pertahanan dan bernegosiasi damai namun ditolak pasukan pemerintah. Banyak korban dari kelompok demonstran tewas dalam peristiwa ini.

Begitu masuk ke Gwangju, Kim meminta bayarannya.  Dia mau menurunkan penumpangnya dan balik ke Seoul karena takut dengan huru-hara,  bilang hanya akan membayarnya kalau sudah kembali ke Seoul. Kim tetap meminta bayaran, walaupun akhirnya hanya diberi setengahnya.

Mereka pun melanjutkan perjalanan ke dalam kota Gwangju.

Benar saja, Gwangju dalam kondisi chaos. Sebuah truk berisi beberapa pemuda yang berdemo lewat di depan taksinya.  turun dan ingin mewawancarai salah seorang dari mereka yang paling gempal, dia pun ikut naik truk itu sambil merekam pakai kameranya. Ternyata orang asing itu seorang wartawan. Sementara itu Kim diminta mengikuti truk itu.

Saat truk berbelok ke kiri, Kim malah putar balik.

Seorang nenek renta menghentikan taksinya. Tadinya Kim tidak ingin membawa nenek itu, namun karena si Nenek terjatuh, dia pun merasa kasihan. Ternyata Nenek minta diantar ke rumah sakit, dia mencari anaknya yang sudah dua hari tidak pulang, kabarnya dia ikut demo dan kepalanya dipukul tentara.

Sesampainya di rumah sakit, banyak sekali korban kekerasan tentara dalam demo. Kim memapah si Nenek ke UGD. Di sana Nenek pun menemukan putranya yang tidak kurang suatu apa pun, ternyata putranya adalah si Gempal yang naik truk tadi.

Kim pun terlibat cekcok dengan si Gempal dan teman-temannya, dia dituduh membawa lari alat kamera mahal milik  yang tertinggal di jok belakang. Setelah dikembalikan, Kim langsung mau pulang ke Seoul, namun kumpulan sopir taksi di halaman rumah sakit yang melihat percekcokan itu langsung merebut uang ongkos milik Kim. Dia dianggap sopir taksi yang tidak kompeten karena membuang penumpang tapi tetap minta bayaran.

Akhirnya Kim mengembalikan uang ongkos ke orang asing itu dan tetap mau pulang ke Seoul, tapi bensinnya hampir habis. Dia pun mempersilakan lagi penumpangnya masuk ke mobil, dengan harapan bisa beli bensin untuk pulang. Penumpangnya bertambah satu, seorang remaja yang menjadi penerjemah.

Taksi menuju ke pusat kerumunan unjuk rasa. Anak itu berteriak agar orang-orang memberi jalan untuk taksi karena membawa jurnalis yang akan meliput demo. Seorang ibu memberi mereka makanan.

Mereka naik ke atap sebuah gedung tinggi. Di sana ada seorang wartawan lokal yang juga sedang memotret unjuk rasa di bawah. Jurnalis asing itu pun ngobrol dengan dia, sementara Kim duduk santai makan nasi kepal pemberian ibu tadi di bawah.

Dari obrolan itu diketahui pemerintah menutup seluruh akses keluar Gwangju, termasuk memutus sambungan telepon. Seluruh negeri Korea menikmati informasi bahwa yang terjadi di Gwangju adalah tentara melawan teror gangster, banyak korban berjatuhan di pihak tentara. Tidak ada wartawan lokal yang diijinkan meliput, wartawan asing yang ketahuan meliput pasti akan diincar termasuk semua orang yang membantunya. 



Mereka melirik ke arah Kim yang sedang asyik makan. Kim pun bertanya mengapa wajah mereka tiba-tiba berubah serius, tanpa obrolan mereka.

Wartawan lokal mengajak mereka turun, Kim tidak mau. Dia disuruh tinggal sendiri di situ pun enggan, akhirnya ikut turun.




Seorang tentara berpakaian preman melihat orang asing itu, lalu mencari tahu siapa dia. Diketahui, namanya Jürgen Hinzpeter, seorang wartawan berkebangsaan Jerman, datang ke Korea dari Jepang. Dan, dia pun jadi "target" sang Tentara. 

Dalam situasi hiruk pikuk, orang asing itu terjatuh, ditolong oleh Kim. Lalu mereka masuk lagi ke taksi. Kim mengajak penumpangnya pulang ke Seoul karena memang perjanjiannya mereka harus kembali malam itu juga. 

Si Bocah penerjemah, Gu Jae-Sik namanya, diturunkan di jalan dekat rumahnya, sedangkan taksi lanjut. Sayangnya taksi malah mogok. Ayah Jae-Sik yang juga seorang sopir dan kawan-kawannya yang tadi ada di halaman rumah sakit menderek mobil Kim dengan taksi lain ke bengkel terdekat. 

Seorang di antaranya memeriksa mobil, starternya sudah terlalu tua. Dia heran kenapa Kim nekat jalan ke Gwangju dengan kondisi mobil seperti itu. 

Kim harus kembali ke Seoul sebelum jam malam tiba karena meninggalkan putrinya sendirian di rumah (istrinya sudah meninggal), namun perbaikan bisa makan waktu 2 jam meskipun memakai starter baru dari mobil lain, spare-part di bengkel sudah habis. 

Dengan hati dongkol, terpaksa Kim dan Hinzpeter menginap di rumah Tuan Gu. 

Di rumah itu, mereka menyetel tivi. Isi beritanya adalah tentara melawan gangster di Gwangju. Tivi langsung dimatikan. 

Tak lama kemudian terdengar dentuman keras, sebuah ledakan di stasiun televisi lokal. Mereka pun berlari ke sana. 

Tentara berpakaian preman yang tadi melihat Hinzpeter dan mengejarnya. Jae-Sik menuntun mereka lari ke gedung bertingkat. 

Jae-Sik tertangkap ketika mengambil gulungan film yang terjatuh, kepalanya ditodong pistol. Si Tentara minta kamera dan isi filmnya, lalu akan melepaskan mereka bertiga, jika tidak maka Jae-Sik akan dibunuh pada hitungan kesepuluh. 




Di hitungan kesembilan, Jae-Sik membujuk si Tentara agar dia bisa bicara dengan si Wartawan, katanya dia akan minta tolong untuk dibebaskan. Namun ternyata Jae-Sik malah minta si Wartawan pergi dan menyelamatkan film itu, lalu menyiarkannya ke seluruh dunia. 

Kim dan Hinzpeter berlari, berpencar, Kim tertangkap, dituduh komunis yang menjual negara demi uang pada orang asing. Dari belakang, Hinzpeter memukul tentara itu. 

Mereka pun berjalan gontai ke rumah Tuan Gu. 

Jelang terpejam, Kim bercerita tentang kisahnya. Sepulang dari Arab, dia membawa uang banyak tapi habis untuk mengobati istrinya yang tidak punya harapan sembuh. Istrinya memaksanya membeli sebuah taksi. 

Setelah istrinya meninggal, Kim terus mabuk-mabukan, hingga suatu hari dia terbangun mendapati putrinya sedang menangis sambil memeluk baju ibunya. Dia sadar, yang tersisa hanya mereka berdua. Sejak saat itu Kim membanting tulang demi putri semata wayangnya. 

Hinzpeter terharu dalam diam. 

Esoknya Kim pergi pagi-pagi mengambil taksinya, Hinzpeter pura-pura tidak tahu. 

Tuan Gu menyusul, memberinya peta jalan rahasia keluar Gwangju dan plat nomor palsu karena tentara "mengincar" taksi Seoul. Dia juga memberikan uang dari Hinzpeter. Kim hendak menolaknya namun Tuan Gu memaksa. 

Setelah keluar dari Gwangju, di sebuah pedesaan Kim ke bengkel memperbaiki mobilnya dan membeli sepatu untuk anaknya. Saat makan di sebuah warung, televisi kembali menayangkan "tentara melawan gangster" di Gwangju. Pemilik warung ngobrol dengan temannya, mempertanyakan kebenaran yang terjadi di Gwangju. 

Kim yang nampak sangat lapar pun diberi nasi kepal, mengingatkannya pada nasi kepal Gwangju. 

Batinnya bergejolak, antara memilih langsung pulang ke anaknya atau menjemput si Wartawan di Gwangju, lalu memberitakannya ke seluruh dunia. Akhirnya Kim memutuskan untuk putar balik, ke rumah Tuan Gu. 

Ternyata Tuan Gu ada di rumah sakit. Pemandangan korban pembantaian ganas tentara berserakan di lorong rumah sakit. Tampak Hunzpeter terduduk lesu dan Tyan Gu sedang menangisi jasad anaknya, Jae-Sik. 

Jiwa Kim kembali terbakar, dia meminta Hinzpeter merekam keadaan di rumah sakit. 


Tiba-tiba sopir taksi teman Tuan Gu datang, melaporkan bahwa orang-orang yang sedang demo damai menyanyikan lagu kebangsaan Korea malah ditembaki. 



Di sana, mereka melihat tentara yang membantai para pendemo di tengah jalan. Semua ditembaki, dipukuli, ditendangi, bahkan orang yang hendak menolong pendemo yang terluka pun langsung tembak mati di tempat.

Menyerah, seorang pendemo muncul ke tengah jalan membawa bendera putih. Duar! Dia pun mati sekaligus. 

Melihat situasi yang makin chaos. Sang Wartawan lokal yang ada di situ memohon Hinzpeter untuk mengabarkan pada dunia tentang kekejian yang terjadi di sini. Kim mengajaknya pergi. 



Di jalan keluar kota Gwangju, jalan diblokir oleh tentara. Seorang di antaranya memeriksa kabin dan bagasi, menemukan plat nomor Seoul. Dikiranya mereka akan tertahan, namun tentara itu mengijinkannya lewat. 

Baru saja taksi bergerak, tak lama tentara lain menerima telepon perintah untuk menangkap taksi yang membawa orang asing. Rombongan mobil tentara mengejar taksi Kim. 

Ternyata para pengemudi taksi Gwangju sudah memperkirakan hal ini akan terjadi. Mereka menghalang-halangi rombongan mobil tentara hingga Kim tidal terkejar lagi. 




Sesampainya di Seoul, Kim langsung mengantar Hinzpeter ke bandara. Gulungan film rekaman kejadian di Gwangju ditaruh dalam kaleng biskuit berbalut pita sehingga mirip oleh-oleh. Hinzpeter nomor telepon Kim, dia akan mengirim uang untuk perbaikan mobil. Kim melirik bungkus rokok merk "Sa-Bok" lalu menulis nama "Kim Sa-Bok" pada buku catatan milik Hinzpeter.

Sementara itu, pihak tentara sudah menghubungi Seoul. Mereka akan mecegah Hinzpeter terbang ke Jepang besok jam 10. Namun Hinzpeter rupanya mengambil penerbangan malam itu juga. 



Ada adegan mengharukan. Mereka berpelukan, dan berpisah. 



Desember 2003 

Hinzpeter kembali ke Seoul, muncul di tivi, mencari sopir taksi bernama Kim Sa-Bok. Rupanya nama dan nomor teleponnya palsu. Hinzpeter tak dapat menemukannya. 



Ada video Hinzpeter asli yang masih tetap mencari sopir Kim hingga akhir hayatnya. 

Menurut saya, Kim, dalam kesulitan ekonomi dia mengejar uang namun hati kecilnya pun tak mengijinkan pembantaian itu terus meraja lela. Dan dia pun takut kalau Hinzpeter gagal memberitahu pada dunia tentang kejadian di Gwangju, maka namanya akan ikut terseret. 


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url